Rabu, 16 Januari 2019

Sertifikasi Project Management Professional (PMP)

Sejarah PMP
Manajemen Proyek dikembangkan dari beberapa bidang aplikasi termasuk didalamnya konstruksi sipil, teknik rekayasa, dan juga aktivitas di bidang HANKAM (pertahanan-keamanan). Manajemen Proyek telah diterapkan dari awal perabadan manusia. Di antaranya misalnya Vitruvius (1 abad SM), Christopher Wren (1632-1723), Thomas Telford (1757-1834) dan Isambard Kingdom Brunel (1806-1859).
Kemudian baru pada tahun 1900 an Manajemen Proyek dengan proses sistematiknya diterapkan pada proyek rekayasa yang kompleks. Dua tokoh yang fenomenal dari manajemen proyek. Adalah Henry Gantt, disebut ayah dari teknik perencanaan dan kontrol , yang terkenal dengan penggunaan tentang Gantt chart sebagai alat manajemen proyek;. dan kemudian Henri Fayol untuk ciptaan-Nya dari 5 fungsi manajemen yang membentuk dasar dari tubuh pengetahuan yang terkait dengan proyek dan manajemen program. Gantt dan Fayol, keduanya adalah mahasiswa Frederick Winslow Taylor untuk memperdalam teori manajemen ilmiah. Karyanya adalah pelopor alat manajemen proyek modern termasuk rincian struktur kerja (WBS - Work Breakdown Structure) dan alokasi sumber daya.
Tahun 1950 menandai awal era Manajemen Proyek modern datang bersama-sama dengan bidang Rekayasa Teknis (Enjinering) sebagai satu kesatuan. Manajemen proyek menjadi dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang berbeda yang timbul dari disiplin ilmu manajemen dengan model rekayasa Di Amerika Serikat . Sebelum tahun 1950-an secara garis besar, proyek dikelola dengan menggunakan Grafik Gantt, sebagai suatu alat dan teknik informal. Pada saat itu, dua model penjadwalan proyek dengan model matematis sedang dikembangkan. Yang pertama adalah Metode Jalur Kritis (CPM - Critical Path Method) yang dikembangkan pada suatu proyek sebagai usaha patungan antara DuPont Corporation dan Remington Rand Corporation untuk mengelola proyek-proyek pemeliharaan tanaman. Dan yang kedua adalah "Evaluasi Program dan Tinjauan Teknik" (atau PERT - Program Evaluation and Review Technique), dikembangkan oleh Booz Allen Hamilton sebagai bagian dari Angkatan Laut Amerika Serikat (dalam hubungannya dengan Lockheed Corporation) dalam pengembangan Program rudal kapal selam Polaris; Perhitungan teknik matematis ini kemudian cepat menyebar ke perusahaan-perusahaan swasta untuk diterapkan. Dalam waktu yang sama, model penjadwalan-proyek juga sedang dikembangkan, teknik menghitung biaya proyek, manajemen biaya, dan ekonomi teknik terus berkembang, dengan kepeloporannya oleh Hans Lang dan lain-lain.
Pada tahun 1956, American Association of Cost Engineers (AACE), yang sekarang disebut AACE Internasional; Asosiasi Internasional untuk ahli Teknik Biaya yang pada awalnya dibentuk oleh praktisi manajemen proyek dan spesialisasi terkait dengan perencanaan dan penjadwalan, perkiraan biaya , dan pengenadalian jadwal proyek (Pengendali Proyek - Project Control). AACE terus bekerja sebagai perintis dan pada tahun 2006 pertama kali merilis proses yang terintegrasi untuk manajemen portofolio, program dan proyek (Total Cost Management Framework). AACE meneawarkan beberapa sertifikasi seperti CCE, PSP dan lain sebagainya.
Pada tahun 1967, International Project Management Association (IPMA) didirikan di Eropa, sebagai sebuah federasi dari beberapa asosiasi manajemen proyek nasional. IPMA memelihara struktur federal hari ini dan sekarang termasuk asosiasi anggota pada setiap benua kecuali Antartika. IPMA menawarkan Sertifikasi Tingkat Empat program yang berdasarkan Baseline IPMA Kompetensi (ICB). ICB ini mencakup kompetensi teknis, kompetensi kontekstual, dan kompetensi perilaku. Kemudian Pada tahun 1969, Project Management Institute (PMI) dibentuk di Amerika Serikat.PMI menerbitkan buku Panduan yang sering disebut dengan PMBOK Guide (Project Management Body of Knowledge Guide), yang menggambarkan praktek manajemen proyek yang umum untuk "hampir semua proyek dan hampir semua waktu". PMI juga menawarkan beberapa sertifikasi seperti PMP, CAMP dan lain sebagainya.
Di Indonesia sendiri Manajemen Proyek berkembang pada era tahun 1970-1990 an diawali dengan semakin banyaknya berkembang proyek-proyek infrastruktur yang banyak memerlukan profesional di bidang Manajemen Proyek. Salah satunya yang berdiri pertama kali adalah Project Management Institut Chapter Jakarta (yan sekarang disebut PMI - Indonesia). PMI Indonesia didirikan pada tahun 1996 dan merupakan organisasi yang didedikasikan untuk meningkatkan, konsolidasi dan penyaluran manajemen proyek Indonesia dan bekerja untuk pengembangan pengetahuan dan keahlian untuk kepentingan semua stakeholder. Organisasi ini adalah salah satu cabang dari Project Management Institute (PMI), sebuah organisasi, nirlaba profesional di seluruh dunia terkemuka.


Teori PMP
PMP adalah sertifikasi yang dikeluarkan oleh Project Management Institute, sebuah lembaga independent yang berada di Pennsylvania, Amerika Serikat. Orang yang memiliki sertifikat ini dianggap telah berhasil membuktikan bahwa dirinya layak memimpin dan mengatur satu tim dalam sebuah proyek. Sertifikat PMP diakui secara luas di dunia industri, tidak hanya terbatas pada dunia IT saja. Namun, para pelaku dunia IT juga kerap menganggap bahwa PMP termasuk sertifikat yang harus dimiliki, mengingat pekerjaan di dunia IT kerap di kerjakan secara tim bukan individual. Sehingga kemampuan seseorang dalam memimpin sebuah tim pastilah sangat penting. Untuk mendapatkan sertifikat ini, Anda harus melewati satu ujian dan menjawab sekitar 200 buah pertanyaan, dengan biaya berkisar antara 3,5 juta rupiah (250 US$) hingga 8,3 juta rupiah (600 US$). Masa berlaku sertifikat adalah 3 tahun.
Sertifikasi Project Management Professional (PMP)® merupakan salah satu sertifikasi professional yang dibutuhkan oleh para manajer proyek (Project Managers). Tanggung jawab utama seorang manajer proyek adalah memastikan proyek dapat selesai sesuai dengan waktu dan anggaran yang dicanangkan, sesuai dengan kebutuhan klien, dengan tetap memperhatikan kesejahteraan tim. Untuk itulah Project Management Institute (PMI)® menawarkan sertifikasi Project Management Professional (PMP)®, agar dapat memperlengkapi para manajer proyek dalam menjalankan tugas – tugas secara profesional.
Melalui pelatihan ini, peserta akan dibekali dengan pemahaman mengelola proyek berdasarkan Project Management Body of Knowledge (PMBOK) yang terbaru. Selain itu peserta juga akan dibekali dengan strategi dan kiat – kiat untuk menyelesaikan ujian sertifikasi PMP.

Tujuan
Melalui pelatihan ini, peserta diharapkan dapat:
1. Menerapkan konsep dan terminologi manajemen proyek
2. Menerapkan standar internasional manajemen proyek pada kasus nyata yang dialami sehari-hari
3. Memberikan solusi yang lebih cepat dan tepat kepada klien dan memastikan terjadinya komunikasi yang terbuka antara pemangku kepentingan (stakeholders) dan tim pengembang
4. Memimpin dan memotivasi tim untuk bekerja lebih baik
5. Meminimalisasi resiko
6. Menyelesaikan ujian sertifikasi (PMP)® dengan hasil yang baik
Untuk bisa mengikuti ujian PMP, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
1. Persyaratan Pengalaman: Minimal harus memiliki 4500 jam pengalaman di Project Management untuk S1, dan 7500 jam pengalaman untuk D3.
2. Persyaratan Pendidikan: Harus memiliki 35 jam pendidikan di Project Management. Untuk mendapatkan syarat ini, bisa mengikuti Training PMP yang diadakan oleh lembaga-lembaga training sertifikasi (classroom) atau melalui internet/ online.

Lantas, mengapa menjadi seorang PM harus memiliki sertifikat PMP®?

Sertifikat PMP® telah diakui sebagai “gold standard” dalam sertifikat project management. Badan-badan pemerintah dunia, perusahaan nasional dan multi-nasional, sampai organisasi non-profit di banyak negara percaya dengan memperkerjakan project manager yang memiliki sertifikat PMP. Hal tersebut karena kualifikasi mereka dianggap dapat meningkatkan tingkat keberhasilan proyek.
Karena sudah diakui dan oleh semua institusi global dan lokal, secara otomatis Project Manager yang telah memegang sertifikat PMP® dapat menikmati kesempatan karir yang lebih luas dan pendapatan yang lebih besar.


Project manager Professional 
Project Management Professional (PMP) adalah salah satu dari sertifikasi profesional di bidang manajemen proyek yang disponsori oleh Project Management Intitute (PMI) yang berbasis di USA. Hingga saat ini PMI mengeluarkan 5 sertifikasi manajemen proyek, yaitu:
· Certified Associate in Project Management, CAPM
· Project Management Professional, PMP
· Program Management Professional, PgMP
· PMI Risk Management Professional, PMI-RMP
· PMI Scheduling Professional, PMI-SP

Hingga saat ini PMP masih merupakan sertifikasi yang paling populer dari sertifikasi lainnya di bawah PMI.Sertifikasi keahlian manajemen proyek dilaksanakan oleh berbagai bebagai organisasi profesi nasional maupun global. Di Indonesia, sertifikasi keahlian manajemen proyek dilaksanakan oleh Ikatan Ahli Manajemen Proyek Indonesia (IAMPI). Di Amerika Serikat, dan berlangsung secara global, diselenggarakan oleh Project Management Institute (PMI), di Australia ada AIPM, di Inggris ada IPM, serta organisasi profesi di berbagai negara.
Sertifikasi PMI Sertifikasi yang diselenggarakan oleh Project Management Institute (PMI) dinamakan Project Management Professional (PMP) Certification, didasarkan pada standar proses pengelolaan proyek, sesuai dengan Project Management Body of Knowledge (PMBOK®) yang dipublikasikan oleh PMI. Dari catatan diketahui bahwa sejak tahun 1984 sertifikasi PMP merupakan sertifikasi yang paling banyak diikuti secara global dibanding dengan sertifikasi yang lainnya. Sertifikat PMP merupakan sertifikat yang telah diakui secara global, pemegangnya didorong untuk tetap aktif dalam kegiatan manajemen proyek dengan memenuhi beberapa ketentuan sesuai PMI’s Continuing Certification Requirements (CCRs)
Dengan sistem ini hanya mereka yang masih aktif sertifikatnya yang boleh menyatakan dirinya sebagai Project Management Professional (PMP). Untuk mendapatkan sertifikat PMP, seseorang tidak perlu menjadi anggota PMI.
Persyaratan Minimum untuk mendapatkan sertifikat PMP:
· Pendidikan formal: paling rendah tamatan sekolah lanjutan atas,
· Pengalaman tentang manajemen proyek Bagi yang berpendidikan sarjana S1, berpengalaman 36 bulan dan 4.500 jam berkaitan dengan manajemen proyek pada 8 tahun terakhir.
Bagi yang berpendidikan sekolah lanjutan atas, berpengalaman 60 bulan dan 7.500 jam berkaitan dengan manajemen proyek pada 8 tahun terakhir
· Pendidikan formal manajemen proyek sekurang-kurangnya berlangsung selama 35 jam
· Etika: mengikuti etika sesuai dengan Code of Etichs and Professional Conduct yang ditetapkan PMI
· Lulus ujian PMP yang diselenggarakan oleh PMI
Ujian PMP dirancang untuk menilai dan mengukur pengetahuan tentang manajemen proyek. Konsep dalam ujian PMP didasarkan pada Project Management Body of Knowledge (PMBOK®) Guide. PMBOK® Guide ini telah merupakan standar yang telah dikenal secara global (IEEE Stda 1490-2003) yang di dalamnya diuraikan tentang dasar-dasar manajemen proyek serta penggunaanya di berbagai macam industri. Ujian diselenggarakan dalam dua cara dengan computer based testing (CBT) dan juga ujian menggunakan kertas yang diawasi. Di Jakarta, diselenggarakan melalui CBT. Secara ringkas struktur ujian dan minimum syarat kelulusan adalah sebagai berikut:
· Dalam ujian PMP terdapat 200 pertanyaan pilihan ganda,
· Di antara 200 pertanyaan tersebut, terdapat 25 pertanyaan yang disusun acak dan tidak diperhitungkan untuk penentuan lulus/tidak lulus,
· Untuk menyelesaikan ujian ini tersedia waktu selama 4 jam,
· Untuk dapat lulus, diperkirakan paling tidak 61% pertanyaan harus dijawab dengan benar, jadi sekitar 106 dari 175 pertanyaan.
Ujian PMP meliputi sembilan PMBOK® Knowledge Areas sebagai berkut:
· Project Integration Management
· Project Scope Management
· Project Time Management
· Project Cost Management
· Project Quality Management
· Project Human Resource Management
· Project Communications Management
· Project Risk Management
· Project Procurement Management
Dalam ujian PMP diuji juga pengetahuan tentang Project Management Framework dan Professional Responsibility. Sembilan PMBOK® Knowledge Areas meliputi 42 proses yang tergabung dalam lima process groups. Kelima process groups dasar ini, biayanya ditemukan dalam semua proyek, adalah seperti berikut ini dengan perkiraan jumlah persen pertanyaan dalam ujian PMP: 1. Initiating (11%) 2. Planning (23%) 3. Executing (27%) 4. Controlling and Monitoring (21%) 5. Closing (9%) Sebagai tambahan terdapat sekitar 9% pertanyaan yang berkaitan dengan Professional and Social Responsibility Project Management Institute (PMI)


Contoh Kasus :
Implementasi Manajemen Risiko Berdasarkan PMBOK Untuk Mencegah Keterlambatan Proyek Area Jawa Timur (Studi Kasus: PT. Telkom)
PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk sedang melakukan proyek pembaruaninfrastrukturnya. Pada tahun 2015, terjadi peningkatan jumlah proyek yang sangat signifikan yang dikelolah oleh Telkom Jawa Timur yaitu mencapai angka 105 proyek. Dalam studi kasus yang akan diteliti, yaitu daerah proyek pembangunan Jawa Timur khusus kepada proyek OSP yaitu modernisasi perangkat RK. Berdasarkan data yang diperoleh dua tahun terakhir (2014-2015) terdapat 17 proyek modernisasi (929 node), dan 45% yang dikelola mengalami keterlambatan waktu penyelesaian.
Saat ini belum diterapkan manajemen risiko yang spesifik, yang dilakukan baru sebatas identifikasi penyebab keterlambatan. Oleh karena itu sesuai dengan tujuan penelitian akan diidentifikasi risiko penyebab keterlambatan proyek dengann menggunakan pendekatan manajemen risiko proyek mengacu pada standar Project Management Body of Knowledge(PMBOK) yang dipopulerkan oleh Project Management Institute(PMI). Adapun kelebihan yang menjadi alasan dipilihnya PMBOK yaitu merupakan praktek terbaik berdasarkan pengalaman dan pengetahuan secara luas yang dibuat dalam bentuk frameworkyang fokus pada disiplin manajemen proyek sehingga penerapan yang benar dari metode manajemen yang disarankan ini akan memberi peluang lebih besar untuk mencapai sukses pada proyek di berbagai Jurnal Studi Manajemen Dan Bisnis Vol 4 No. 2 Tahun 2017 98 sektor pekerjaan. Setelah identifikasi akan dibuatkan prioritas risiko dan usulan mitigasinya.


Daftar Referensi :
https://www.slideshare.net/triyulianto182/18489-project-manager-professional-pmi (Diakses pada tanggal 14/1/2019 Jam 10:00 WIB)
https://www.qerja.com/journal/view/352-5-sertifikat-penting-untuk-sukses-di-bidang-it (Diakses pada tanggal 14/1/2019 jam 10:00 WIB)
https://magnaqm.com/project-management-articles/apa-itu-sertifikat-pmp/ (Diakses pada tanggal 14/1/2019 jam 10:05 WIB)
http://adikristanto.net/pengalaman-mengambil-sertifikasi-pmp/ ((Diakses pada tanggal 14/1/2019 jam 10:20 WIB)
http://pusilkom.ui.ac.id/?p=2368 (Diakses pada tanggal 14/1/2019 jam 10:15 WIB)
https://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen_proyek (Diakses pada tanggal 15/1/2019 jam 20:00 WIB)
http://journal.trunojoyo.ac.id/jsmb/article/view/3959 (Diakses pada tanggal 15/1/2019 jam 21:00 WIB)

Analisis :
Sesuai dengan aktivitas yang dikerjakan oleh operasional proyek, terdapat empat proses pada pelaksanaan proyek yaitu proses preparing, proses delivery, proses instalasi & integrasi, dan  closing. Masing-masing proses tersebut dilakukan secara tersusun agar tidak terjadi kesalahan. Yang terpenting adalah karena akan menentukan manajemen resikonya, Selanjutnya dilakukan brainstorming dan diskusi dengan Manager Integrasi & Migrasi serta dengan staff yang sudah berkecimpung di proyek selama lebih dari sepuluh tahun guna nantinya agar mengurangi keterlambatan resiko pada suatu proyek.

Kemudian Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain: Untuk menentukan prioritas dan langkah mitigasinya diterapkan langkah-langkah yang terdapat pada PMBOK yaitu kita menggunakan sebuah praktik yang terbaik serta pengalaman yang luas.Sehingga nantinya terdapat sebuah proses kinerja yang baik dan benar dalam menjalankan metode manajemennya. Disitulah juga terdapat peluang yang besar dalam mencapai sebuah proyek dengan metode manajemen.

Langkah terakhir yang dilakukan yaitu menetapkan nilai severity, occurrence, detection untuk memperoleh nilai RPNnya dapat menggunakan menggunakan metode FMEA dan diagram pareto. Nilai inilah yang akan dijadikan untuk penentuan risiko yang akan dijadikan prioritas untuk dimitigasi. 


Pertanyaan :
Kenapa ITAF tidak diperuntukkan untuk bidang bisnis(mesin)?
Karena ITAF difokuskan pada materi ISACA dan menyediakan satu sumber di mana audit dan jaminan SI profesional dapat mencari bimbingan, penelitian kebijakan dan prosedur, mendapatkan program audit dan jaminan, dan mengembangkan laporan yang efektif. Dan tujuan utamanya adalah sebagai media sumber daya pendidikan, sehingga framework ini tidak menunjukkan pada bagian mesin melainkan sumber daya manusia yang diberikan layanannya. Pada intinya framework ini bekerja dibidang pada sumber daya manusia dan bukan sebagai suatu alat teknologi.

Selasa, 15 Januari 2019




COSO adalah singkatan dari Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission, dimana merupakan suatu inisiatif dari sektor swasta yang dibentuk pada tahun 1985. Tujuan utamanya adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan penggelapan laporan keuangan dan membuat rekomendasi untuk mengurangi kejadian tersebut.

Alasan menggunakan framework COSO karena dengan menggunakan framework tersebut kita dapat meningkatkan kinerja suatu organisasi atau perusahaan dengan melakukan tindakan-tindakan yang telah ditetapkan sesuai dengan kebijakan dan prosedur dalam perusahaan, mengawasi sistem internal terhadap perusahaan agar masing-masing komponen dapat berjalan sebagaimana mestinya, dan mengurangi risiko yang timbul dalam perusahaan, contohnya seperti mengidentifikasi dan menganalisis risiko-risiko dalam penyusunan laporan keuangan.

COSO juga mempunyai banyak kelebihan yaitu dapat membantu suatu entitas mencapai kinerja dan profitabilitas target dan mencegah hilangnya sumber daya, dapat membantu memastikan pelaporan keuangan yang dapat diandalkan, dapat membantu memastikan bahwa perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan menghindari kerusakan reputasi dari suatu organisasi atau perusahaan.

Selasa, 04 Desember 2018

framework cmmi, itil, itaf

PEMBAHASAN
CMMI

Capability Maturity Model Integration (CMMI) adalah model peningkatan proses yang bertujuan membantu organisasi dalam meningkatkan kinerja. CMMI dapat menjadi acuan peningkatan proses bagi penyediaan produk dan layanan di tingkat proyek. CMMI terdiri atas kumpulan best practices yang menggambarkan karakteristik dari sebuah peningkatan proses yang efektif .CMMI pada awalnya dikenal sebagai Capability Maturity Model (CMM) yang dikembangkan oleh Software Enginnering Institute di Pittsburgh pada tahun 1987. Namun perkembangan selanjutnya CMM menjadi CMMI. CMMI mendukung proses penilaian secara bertingkat. Penilaiannya tersebut berdasarkan kuisioner dan dikembangkan secara khusus untuk perangkat lunak yang juga mendukung peningkatan proses. CMMI adalah suatu pendekatan perbaikan proses yang memberikan unsur-unsur penting proses efektif bagi organisasi. Praktik-praktik terbaik CMMI dipublikasikan dalam dokumen-dokumen yang disebut model, yang masing-masing ditujukan untuk berbagai bidang yang berbeda
Dengan adanya CMMI kita dapat mengukur seperti halnya berikut ini :

  • ·         Bagaimana kita mengetahui jika kita sudah berkembang ?
  • ·         Bagaimana kita mengetahui jika proses yang telah digunakan berjalan dengan baik ?
  • ·         Bagaimana kita mengetahui jika merubah kebutuhan proses yang dilakukan akan berguna?
  • ·         Bagaimana kita mengetahui jika produk yang dibuat dapat lebih baik dari yang lain?

Kegunaan CMMI bagi perusahaan, antara lain :

1.Untuk mengukur tingkat kematangan dari suatu perusahaan atau organisasi pengembang perangkat lunak.
2.Sebagai alat bantu sebagai alat uji-kinerja atau benchmarking dengan perusahaan atau organisasi lain.
3.Pemberi arah untuk top management untuk meningkatkan kinerja pada sebuah perusahaan/organisasi pengembang software.
4.Meminimalisir adanya resiko dalam pembangunan sebuah software.
5.Implementasi CMMI yang tepat d meningkatkan kinerja organisasi dari sisi biaya, waktu, mutu, kepuasan pelanggan dan return on investment (ROI).


2.2 Maturity Level CMMI
Beberapa tahapan level yang ada pada CMMI adalah sebagai berikut :
1.      Maturity Level 1 – Initial
Secara umum, organisasi yang berada pada level 1 adalah organisasi yang belum menjalankan CMMI. Tidak terdapatnya proses yang standar dalam pengembangan IT, banyak perubahan yang bersifat ad-hoc (begitu terdapat defect, langsung di coba diperbaiki tanpa melihat penyebab utama secara menyeleruh) dan sangat sedikit kontrol. Organisasi semacam ini umumnya sangat tergantung terhadap orang, tidak tergantung kepada sistem.  Organisasi tidak menyediakan lingkungan yang stabil untuk mendukung proses. Sukses ditentukan oleh kompetensi orang-orang dalam organisasi. Walaupun  mampu menghasilkan produk atau layanan yang baik, namun proyek melebihi anggaran ataupun tenggat waktu yang dijanjikan. Sering kali pada level ini menemukan beberapa krisis seperti, kelebihan budget yang telah disusun dan juga tidak konsisten pada proyek yang lainnya.  Dan pada level ini memiliki beberapa ciri khas seperti berikut ini:

  • ·         Tidak adanya manajemen proyek.
  • ·         Tidak adanya quality assurance.
  • ·         Tidak ada dokumentasi.
  • ·         Sangat bergantung pada kemampuan individual.
2.      Maturity Level 2 – Managed
Pada level ini sebuah organisasi telah mencapai seluruh specific dan generic goals pada Level 2. Semua pekerjaan yang berhubungan dengan dengan proses-proses yang terjadi saling menyesuaikan diri agar dapat diambil kebijakan. Setiap orang yang berada pada proses ini dapat mengakses sumber daya yang cukup untuk mengerjakan tugas masing-masing. Setiap orang terlibat aktif pada proses yang membutuhkan. Dan semua pekerjaan yang berhubungan dengan proses yang terjadi saling menyesuaikan diri agar dapat diambil kebijakannya. Dan fokus pada tahap ini adalah pada project management dan sudah bukan pada pengembangan pada sistem lagi. Dalam proses pengembangan sistem akan selalu diikuti dan akan berubah dari project ke project yang lainnya. Dan hasil dari pekerjaannya merupakan memonitor,meninjau serta memberikan evaluasi untuk menjaga konsistensi pada informasi yang telah diberikan. Dan repeatable ini memiliki ciri sebagai berikut:

  • 1.Kualitas software mulai bergantung pada proses bukan pada sumber dayanya.
  • 2.Ada manajemen proyek sederhana.
  • 3.Ada quality assurance sederhana.
  • 4.Ada dokumentasi sederhana.
  • 5.Ada software configuration manajemen sederhana.
  • 6.Tidak ada komitmen untuk selalu mengikuti SDLC dalam kondisi apapun.
  • 7.Rentan terhadap perubahan struktur organisasi.
3.      Maturity Level 3 – Defined
Pada level ini sebuah organisasi telah mencapai seluruh specific dan generic goals pada Level 2 dan Level 3. Proses dilihat dengan terjadinya penyesuaian dari kumpulan proses standar sebuah organisasi menurut pedoman-pedoman pada organisasi tersebut, menyokong hasil kerja, mengukur, dan proses menambah informasi lain menjadi milik organisasi.
Dari hasil penggunaan proses standard tadi maka akan menghasilkan hasil yang konsisten dan terdokumentasi dengan kualitas yang baik dan layak untuk dikirim. Proses ini sudah bersifat stabil dan terprediksi dan dapat diulang. Dan pada proses ini memiliki ciri sebagai berikut:

  • ·         SDLC (System Development Life Cycle) sudah dibuat dan dibakukan.
  • ·         Ada komitmen untuk mengikuti SDLC dalam keadaan apapun.
  • ·         Kualitas proses dan produk masih sebatas hanya kira-kira saja.
  • ·         Tidak menerapkan Activity Based Costing.

4.      Maturity Level 4 – Quantitatively Managed
Pada level ini sebuah organisasi telah mencapai seluruh specific dan generic goals yang ada pada Level 2, 3, dan 4. Proses yang terjadi dapat terkontrol dan ditambah menggunakan ukuran-ukuran dan taksiran kuantitatif. Sasaran kuantitatif untuk kualitas dan kinerja proses ditetapkan dam digunakan sebagai kriteria dalam manajemen proses. Perhitungan yang rinci dari standard proses pengembangan sistem dan kualitas produk secara rutin akan dikumpulkan dan di simpan dalam database. Terdapat suatu usaha untuk mengembangkan  individual project management yang didasari dari data data yang telah dikumpulkan. Pada level ini memiliki beberapa ciri sebagai berikut :

1.Sudah adanya Activity Based Costing dan digunakan untuk mengestimasikan untuk proyek berikutnya.
2.Proses penilaian kualitas perangkat lunak dan proyek bersifat kuantitatif.
3.Terjadi pemborosan biaya untuk pengumpulan data karena proses pengumpulan data masih dilaukan secara manual.

5.      Maturity Level 5 – Optimized
Pada level ini suatu organisasi telah mencapai seluruh specific dan generic goals yang ada di Level 2, 3, 4, dan 5. Proses ini merupakan level terakhir pada CMMI Maturity level dan pada proses ini pengembangan sistem yang telah distandardisasikan akan terus di monitor dan dikembangkan terus yang didasari perhitungan dan analisis data yang telah dibentuk pada level sebelumnya. Dan pada level ini perusahaan atau suatu organisasi telah mencapai seluruh tujuan yang ada pada level sebelumnya dan akan berfokus pada peningkatan proses dan juga merubah teknologi yang terbaik untuk digunakan dalam menunjukan aktivitas yang diperlukan dalam pembangungan maupun pengembangan sebuah sistem dan beberapa ciri dari level terakhir ini adalah sebagai berikut:
·         Pengumpulan data sudah dilakukan secara secara otomatis.
·         Adanya mekanisme feedback yang sangat baik.
·         Adanya peningkatan kualitas dari SDM dan peningkatan kualitas proses.

ITIL

Overview mengenai ITIL Framework ITIL atau Information Technology Infrastructure Library,merupakan sebuah framework yang dibuat dan dikembangkan oleh Office of Government Commerce (OGC) di Inggris. ITIL merupakan kumpulan dari best practice tata kelola layanan teknologi informasi diberbagai bidang dan industri, dari mulai manufaktur sampai finansial, industri besar dan kecil, swasta dan pemerintah. Dalam perkembangannya ITIL telah mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya teknologi informasi. Pada awal perkembangannya, dokumentasi ITIL terdiri dari kurang lebih 40 publikasi yang terbagi kedalam modul-modul terpisah, setelah itu untuk simplifikasi serta kemudahan implementasi ITIL dibagi kedalam 7 domain yang masing-masing saling berhubungan dan dapat berdiri sendiri. Dalam perkembangan fase ini atau sekarang disebut juga dengan ITIL versi 2, domain Service Support dan Service Delivery dijadikan sebagai CORE dalam tata kelola layanan teknologi informasi atau IT Service Management.
Versi terakhir dari ITIL adalah versi 3. Perubahan mendasar pada versi ini terletak dari sudut pandang pengelolaan IT, dimana pada versi 2 ITIL mengelola layanan sebagai sekumpulan proses dan fungsi sementara dalam ITIL versi 3 layanan sebagai sebuah lifecycle / daur hidup.
ITIL mendukung pernyataan bahwa layanan IT harus selaras dengan kebutuhan bisnis dan mendukung inti dari proses bisnis yang dijalnkan. ITIL pada dasarnya memberikan panduan kepada organisasi tentang bagaimana menggunakan IT sebagai alat untuk memfasilitasi perubahan bisnis, transformasi dan pertumbuhan Praktik terbaik ITIL saat ini adalah dalam mericnci lima hal inti yang menyediakan pendekatan yang sistematis dan profesional untuk pengelolaan layanan IT, memungkinkan perusahaan untuk memberikan layanan yang tepat dan secara terus-menerus memastikan bahwa perusahaan memenuhi tujuan bisnis dan memberikan manfaat ke pelanggannya.
Lima panduan inti memetakan seluruh ITIL Service Lifecycle , dimulai dengan identifikasi kebutuhan dan driver persyaratan TI pelanggan, melalui desain dan implementasi layanan ke dalam operasi dan akhirnya , pada pemantauan dan fase perbaikan layanan.
Mengadopsi ITIL dapat dalam sebuah perusahaan dapat memberikan manfaat, antara lain:

  1. ·       Peningkatan layanan IT
  2. ·       Mengurangi biaya
  3. ·       Meningkatkan kepuasan pelanggan melalui pendekatan yang lebih profesional untuk pelayanan
  4. ·       Peningkatan produktivitas
  5. ·       Peningkatan skills dan memperkaya pengalaman
Dikutip dari http://www.saigonctt.com.vn/uploads/Trainings/itsm-v3.gif Gambar 3.1 Siklus ITIL Framework Seperti yang telah dijabarkan di atas, ada lima bagian inti yang dijabarkan dalam siklus hidup ITIL Framework, yaitu:

    • 1.      Service Strategy
    • 2.      Service Design
    • 3.      Service Transition
    • 4.      Service Operation
    • 5.      Continual Service Improvement
Service Strategy
Inti dari ITIL Service Lifecycle adalah Service Strategy.
Service Strategy memberikan panduan kepada pengimplementasi ITSM pada bagaimana memandang konsep ITSM bukan hanya sebagai sebuah kemampuan organisasi (dalam memberikan, mengelola serta mengoperasikan layanan TI), tapi juga sebagai sebuah aset strategis perusahaan. Panduan ini disajikan dalam bentuk prinsip-prinsip dasar dari konsep ITSM, acuan-acuan serta proses-proses inti yang beroperasi di keseluruhan tahapan ITIL Service Lifecycle.
Topik-topik yang dibahas dalam tahapan lifecycle ini mencakup pembentukan pasar untuk menjual layanan, tipe-tipe dan karakteristik penyedia layanan internal maupun eksternal, aset-aset layanan, konsep portofolio layanan serta strategi implementasi keseluruhan ITIL Service Lifecycle. Proses-proses yang dicakup dalam Service Strategy, di samping topik-topik di atas adalah:

    • 1.      Service Portfolio Management
    • 2.      Financial Management
    • 3.      Demand Management
Bagi organisasi TI yang baru akan mengimplementasikan ITIL, Service Strategy digunakan sebagai panduan untuk menentukan tujuan/sasaran serta ekspektasi nilai kinerja dalam mengelola layanan TI serta untuk mengidentifikasi, memilih serta memprioritaskan berbagai rencana perbaikan operasional maupun organisasional di dalam organisasi TI.
Bagi organisasi TI yang saat ini telah mengimplementasikan ITIL, Service Strategy digunakan sebagai panduan untuk melakukan review strategis bagi semua proses dan perangkat (roles, responsibilities, teknologi pendukung, dll) ITSM di organisasinya, serta untuk meningkatkan kapabilitas dari semua proses serta perangkat ITSM tersebut.
Service Design Agar layanan TI dapat memberikan manfaat kepada pihak bisnis, layanan-layanan TI tersebut harus terlebih dahulu di desain dengan acuan tujuan bisnis dari pelanggan. Service Design memberikan panduan kepada organisasi TI untuk dapat secara sistematis dan best practice mendesain dan membangun layanan TI maupun implementasi ITSM itu sendiri. Service Design berisi prinsip-prinsip dan metode-metode desain untuk mengkonversi tujuan-tujuan strategis organisasi TI dan bisnis menjadi portofolio/koleksi layanan TI serta aset-aset layanan, seperti server, storage dan sebagainya. Ruang lingkup Service Design tidak hanya untuk mendesain layanan TI baru, namun juga proses-proses perubahan maupun peningkatan kualitas layanan, kontinyuitas layanan maupun kinerja dari layanan.
Proses-proses yang dicakup dalam Service Design yaitu:

    • 1.      Service Catalog Management
    • 2.      Service Level Management
    • 3.      Supplier Management
    • 4.      Capacity Management
    • 5.      Availability Management
    • 6.      IT Service Continuity Management
    • 7.      Information Security Management
Service Transition
Service Transition menyediakan panduan kepada organisasi TI untuk dapat mengembangkan serta kemampuan untuk mengubah hasil desain layanan TI baik yang baru maupun layanan TI yang diubah spesifikasinya ke dalam lingkungan operasional. Tahapan lifecycle ini memberikan gambaran bagaimana sebuah kebutuhan yang didefinisikan dalam Service Strategy kemudian dibentuk dalam Service Design untuk selanjutnya secara efektif direalisasikan dalam Service Operation.

Service Operation
Service Operation merupakan tahapan lifecycle yang mencakup semua kegiatan operasional harian pengelolaan layanan-layanan TI. Di dalamnya terdapat berbagai panduan pada bagaimana mengelola layanan TI secara efisien dan efektif serta menjamin tingkat kinerja yang telah diperjanjikan dengan pelanggan sebelumnya. Panduan-panduan ini mencakup bagaiman menjaga kestabilan operasional layanan TI serta pengelolaan perubahan desain, skala, ruang lingkup serta target kinerja layanan TI.

Continual Service Improvement
Continual Service Improvement (CSI) memberikan panduan penting dalam menyusun serta memelihara kualitas layanan dari proses desain, transisi dan pengoperasiannya. CSI mengkombinasikan berbagai prinsip dan metode dari manajemen kualitas, salah satunya adalah Plan-Do-Check-Act (PDCA) atau yang dikenal sebagi Deming Quality Cycle.
ITAF


ITAF didesain dan diciptakan oleh ISACA, ITAF sendiri adalah  Sebuah Framework  Praktek Profesional   Audit / jaminan SI  yang telah pada 3rd Edition. Bertujuan  sebagai sumber daya pendidikan untuk para profesional yang bekerja pada bidang audit/ jaminan SI . 

Pengenalan ITAF
ITAF adalah model referensi yang komprehensif dan baik penerapannya karena sbb: Menetapkan standar  audit dan jaminan peran dan tanggung jawab profesional SI ; pengetahuan dan keterampilan; dan ketekunan, perilaku. Mendefinisikan istilah dan konsep spesifik untuk jaminan SI Memberikan bimbingan dan alat-alat dan teknik pada perencanaan, desain, pelaksanaan dan pelaporan SI audit dan jaminan tugas

ITAF difokuskan pada materi ISACA dan menyediakan satu sumber di mana  audit dan jaminan SI profesional dapat mencari bimbingan, penelitian kebijakan dan prosedur, mendapatkan program audit dan jaminan, dan mengembangkan laporan yang efektif.

ITAF 2nd Edition dimasukkan dalam pedoman audit dan jaminan ISACA pada 1 November 2013, sedangkan 3rd Edition sendiri dimasukan pada 1 September 2014 yang akan dipakai sebagai pedoman baru dan akan di index didalam framework




ITAF merupakan produk dari Information System Audit and Control Association (ISACA) yang menyediakan sebuah kerangka tunggal yang berisi standar, pedoman (Guidelines) dan teknik dalam melaksanakan audit dan assurance termasuk di dalamnya perencanaan, lingkup audit, pelaksanaan dan pelaporan audit dan jasa assurance TI. ITAF terbagi menjadi tiga bagian seperti terlihat dalam gambar diatas yaitu:
Standar dikelompokkan menjadi standar umum, standar kinerja dan standar pelaporan. Standar digambarkan di gambar 1 dengan warna putih, artinya standar tersebut harus dilaksanakan (mandatory), bila ada penyimpangan atas standar harus diungkapkan penyebab dan konsekuensinya terhadap pelaksanaan audit. 
Pedoman dikelompokkan menjadi empat bagian dan digambarkan dengan warna abu-abu. Ini berarti pedoman tersebut tidak bersifat mandatory atau tidak bersifat keharusan, namun sangat direkomendasikan penggunaannya. Auditor harus mampu membuktikan adanya penyimpangan TI dengan metode pengumpulan bukti menurut pedoman ini.
Alat dan Teknik Audit, menyediakan infromasi spesifik mengenai metode, alat dan template dan juga menyediakan petunjuk penerapan dalam aktivitas audit. Khusus untuk alat dan teknik audit SI ini, bentuk dari kerangka ITAF berasal dari dokumen lain publikasi ISACA baik berupa buku, jurnal, petunjuk teknis dan sebagainya.

Perbandingan Framework
CMMI
ITIL
ITAF
Bertujuan dalam mengingkatkan kerja.
Bertujuan untuk memberikan layanan Teknologi Informasi.
Bertujuan untuk sebagai sumber daya Pendidikan bagi pekerja Dibidang audit.

Dari ke-3 framework Capability Maturity Model Integration (CMMI), Information Technology Infrastructure Library(ITIL)  dan ITAF dapat disimpulkan bahwa terutama pada framework CMMI mempunyai tujuan yaitu membantu meningkatkan proses kinerja organisasi, ITIL mempunyai tujuan yaitu memberikan layanan Teknologi informasi dan ITAF mempunyai tujuan yaitu memberikan sumber daya pendidikan bagi pekerja dibidang Audit, sehingga dapat disimpulkan dari framework tersebut mempunyai unsur pentingnya sendiri, jika dibandingkan dari ke-3 framework ini alalah pertama dari segi ekonomi, CMMI karena menggunakan adanya sebuah kuisioner jadi proses memakan banyaknya biaya, pada ITIL juga akan terkena biaya yang cukup besar, karena framework ini berhubungan dangan sebuah teknologi, dan ITAF tidak memerlukan biaya yang cukup besar karena framework ini hanya memberikan pelayana pendidikannya. Kemudian dari segi progressnya yaitu pada Framework ini sama sama mempunyai sebuah metode untuk melaksanakan tugasnya sehingga dapat terselesaikan.
Contoh Kasus
PT. Tridas Widiantara adalah sebuah perusahaaan yang bergerak di bidang IT. Namun, sebagai perusahaan yang berkembang perusahaan ini masih memiliki masalah yaitu manajemen perusahaan hampir tidak pernah melakukan pencatatan laporan aktivitas perusahaan seperti progress repor. proyek dan final report proyek. Pelayanan yang dilakukan terhadap para client pun masih belum optimal, bahkan dapat dikatakan masih minim. Dalam menjalin hubungan dengan client kadang-kadang terjadi salah komunikasi dan pengertian sehingga menyebabkan incident tidak dapat ditangani dengan tepat dan segera sesuai dengan harapan client. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh Infitharina (2007) dalam karangan skripsi-nya yang berjudul “Penerapan Information Technology Infrastructure Library Framework Pada Sistem Manajemen Service Desk (Studi Kasus: PT Tridas Widiantara)”, Infitharina menyimpulkan bahwa perlu diterapkan sistem manajemen service desk yang dapat membantu perusahaan Tridas Widiantara untuk meningkatkan kualitas pelayanan IT terhadap client, dengan beberapa catatan, antara lain:
1.Sistem ini dikembangkan dengan menggunakan metode SDLC
2.Pengembangan sistem ini dilakukan dalam enam tahap yang berurutan, dari mulai analisis sistem sampai pada operasionalisasi dan pemeliharaan sistem.
3.Analisis Sistem Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap sistem yang akan dikembangkan berdasar pada hasil rumusan masalah yang terjadi di perusahaan. Dalam manajemen pelayanan IT perusahaan, masalah-masalah yang paling sering muncul adalah sulitnya pencatatan keluhan-keluhan atau pertanyaan-pertanyaan dari client yang masuk penyampaian penyelesaian masalah yang diberikan kepada client selama ini kurang efektif dan efisien komunikasi dalam pelayanan terhadap client kurang lancar
4.Client menghendaki pelayanan yang optimal.

Analisis

Dalam penggunaan sistem pada kasus diatas terbagi menjadi empat, yaitu operator, tim support, client, dan administrator. Tim support akan bertugas menyelesaikan dan menjawab persoalan tingkat lanjut yang diajukan oleh client dan tidak dapat ditangani secara langsung oleh operator. Selanjutnya adalah client merupakan pihak perusahaan yang menjadi client PT. Tridas Widiantara. Sedangkan administrator pada kasus ini bertugas mengelola segala hal teknis yang berkaitan dengan sistem, seperti data pengguna, data produk, dan data perusahaan client, dan yang terakhir adalah operator, dibutuhkan untuk memberikan solusi kepada client. 

Pada kasus diatas diperlukan sebuah sistem yang bernama manajemen service desk, sistem tersebut nantinya akan membantu meningkatkan kualitas pelayanan IT dan mempermudah perusahaan Tridas Widiantara dalam menangani dan mengolah data laporan incident dari client, caranya adalah dengan mengembangkan sistem manajemen service desk yang berbasis web online sehingga client bisa berhadapan langsung dengan tenaga ahli PT. Tridas Widiantara dalam menangani kesulitan-kesulitan yang ada. Untuk mendukung penggunaan sistem service desk dalam perusahaan diperlukan training khusus terhadap staf perusahaan yang berkaitan langsung dalam penerapan service desk ini, khususnya para staf yang bertugas sebagai operator dan engineer.

Penerapan sistem manajemen service desk juga dapat meningkatkan kualitas dalam pelayanan perusahaan. Keuntungan yang didapat dari hasil penerapan ITIL framework sangatlah banyak, seperti peningkatan kualitas pelayanan, peningkatan dibidang internal misalnya keuntungan produksi, inovasi perusahaan, dan keuangan.